Sengketa pajak yang menarik belakangan ini melibatkan PT SAGIO, sebuah Perusahaan Penyedia Layanan Perangkat Lunak, yang menghadapi Koreksi dari DJP atas Biaya Jasa Manajemen yang dibayarkan kepada pihak afiliasinya. DJP melakukan penyesuaian Fiskal Positif sebesar Rp18.669.113.455,00 atas pembayaran Jasa kepada SWR Singapore, SWR Hong Kong, dan SWR Jerman. Koreksi tersebut didasarkan pada penilaian bahwa PT SAGIO tidak dapat membuktikan eksistensi maupun manfaat ekonomis dari jasa yang dibebankan. DJP bahkan mengategorikan jasa tersebut sebagai jasa duplikasi (duplicative services) atau kegiatan pemegang saham (shareholder activity), sehingga tidak layak dibebankan jika transaksi tersebut dilakukan dengan pihak independen.
PT SAGIO secara tegas membantah koreksi tersebut dengan menyampaikan bahwa jasa seperti dukungan back-office, legal, dan pre-sales benar-benar diberikan oleh pihak afiliasi dan memberikan manfaat nyata. Hal ini dianggap wajar mengingat PT SAGIO pada tahun 2020 masih berada dalam tahap awal (start-up) dan hanya memiliki 11 (sebelas) karyawan, sehingga kapasitas internalnya terbatas.
Sengketa kemudian berfokus pada pertanyaan fundamental: apakah jasa yang diterima benar-benar dilakukan, memberikan manfaat ekonomi, dan dibayarkan dalam jumlah wajar sesuai Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU) sebagaimana diatur dalam PER-32/PJ/2011. PT SAGIO juga mengungkapkan bahwa hasil analisis TNMM mencerminkan Operating Margin sebesar 13,62% PT SAGIO berada dalam rentang kewajaran perusahaan pembanding (8,25%–14,43%). Namun, Majelis berpendapat bahwa pengujian ini tidak serta-merta menghilangkan kewajiban untuk membuktikan substansi setiap jenis jasa yang ditagihkan.
Dalam rangka membuktikan keberadaan dan manfaat jasa, PT SAGIO menyampaikan alat bukti yang komprehensif, termasuk salinan perjanjian (Management Support Agreement dan Service Cooperation Agreement), korespondensi email, tangkapan layar sistem internal Global Deal Desk, serta invoice.
Meskipun bukti-bukti tersebut menunjukkan adanya interaksi dalam pemberian jasa, Majelis justru menemukan indikasi duplikasi. Menurut Majelis, beberapa entitas dalam SWR Group, yakni SWR Singapore, SWR Jerman, dan SWR Hong Kong, menagihkan jasa manajemen dengan fungsi yang sama, terutama terkait penentuan strategi usaha dan penerapannya. Duplikasi ini dinilai bertentangan dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha karena lazimnya pihak independen dalam kondisi normal tidak akan bersedia menanggung biaya jasa yang tidak diperlukan atau tidak memberikan nilai tambah.
Setelah melakukan penilaian mendalam, Majelis menyimpulkan bahwa sebagian koreksi DJP terbukti menunjukkan adanya duplikasi dan biaya-biaya yang tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha, sementara sebagian argumen PT SAGIO masih dapat dibuktikan. Atas dasar itu, Majelis mengabulkan sebagian permohonan banding PT SAGIO.
Beberapa jenis jasa yang terbukti secara nyata-nyata dilakukan dan memberi manfaat dibatalkan koreksinya, terutama jasa Con lab. IC-Rev Gen Expense dan Con lab. IC-Back Office Expense dari SWR Singapore dengan nilai total Rp9.725.753.166,00. Majelis menilai bahwa jasa penjualan serta layanan pendukung infrastruktur IT, legal, dan keuangan tersebut sesuai kebutuhan PT SAGIO, relevan dengan fungsi SWR Singapore sebagai kantor pusat Penjualan Asia Pacific Japan (APJ), dan tidak terduplikasi oleh afiliasi lainnya. Seluruh bukti korespondensi dan output yang disajikan PT SAGIO dianggap memadai untuk jenis jasa ini.
Di sisi lain, Majelis tetap mempertahankan koreksi atas jasa yang dinilai terduplikasi atau tidak dapat dibuktikan pelaksanaannya. Koreksi signifikan berasal dari biaya Con lab. IC-Supportive Expense yang ditagihkan SWR Jerman dan SWR Hong Kong senilai Rp5.729.509.385,00, karena kebutuhan jasa tersebut telah dipenuhi PT SAGIO oleh SWR Singapore. Biaya lain seperti Management Charges, serta beberapa tagihan jasa tambahan dari SWR Jerman dan SWR Hong Kong juga dipertahankan, menyebabkan total koreksi yang dipertahankan Majelis mencapai Rp8.943.360.289,00.
Putusan ini menghadirkan pembelajaran penting bagi Wajib Pajak. Kepatuhan dalam hal menyiapkan Dokumentasi transfer pricing tidak serta-merta melindungi dari koreksi transaksi jasa intra-grup. Majelis menekankan bahwa uji substansi, eksistensi, manfaat, dan non-duplikasi merupakan elemen kunci PKKU yang harus dapat dibuktikan secara rinci. Dokumentasi TP (Local File) harus memberikan bukti pelaksanaan jasa yang koheren, seperti korespondensi yang jelas, tangkapan layar sistem operasional, hingga output konkret yang menunjukkan nilai tambah jasa. Tanpa pembuktian tersebut, biaya yang ditagihkan oleh afiliasi berisiko dianggap sebagai Duplicative Services meskipun perusahaan secara keseluruhan menunjukkan margin laba yang wajar.
Analisa komprehensif dan putusan lengkap atas sengketa ini tersedia di sini